Selasa, 11 Juni 2013

Model Regional Development Agency (RDA)


Regional Development Agency (RDA) merupakan badan pembangunan daerah. Regional Development Agency adalah suatu badan yang berbasis regional, dibiayai oleh pemerintah, struktur administrasi di luar arus utama dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang bertujuan untuk mendorong atau memajukan pertumbuhan ekonomi. (Halkier dan Danson, 1996 dalam Hughes 1998). Jadi, dari pengertian tersebut, RDA dapat dikatakan sebuah badan non pemerintah/dinas dimana berperan membantu pemerintah di bidang pembangunan daerah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah/daerah. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang memilki peran dan fungsi yang sangat kompleks, menjadi kurang maksimal dalam melakukan pemerataan pembangunan untuk pertumbuhan ekonomi wilayah, sehingga peran RDA di sini sangat dibutuhkan.
RDA memiliki beberapa kriteria dasar yang dijadikan sebagai model RDA. Yang pertama, struktur dari RDA bisa berupa semi-otonom atau semi pemerintah. Yang kedua, tujuan dan sasaran pokok dari RDA yaitu daya saing wilayah/daerah, pertumbuhan wilayah, pertumbuhan sumber daya lokal dan unit usaha skala kecil-menengah, dan investasi di dalam. Yang ketiga, harus memiliki beberapa instrument kebijakan untuk perbaikan lingkungan, infrastruktur industri, saran dan masukan dalam bisnis, dan modal usaha. Banyak terdapat badan/organisasi yang sebenarnya memiliki gerakan yang hampir sama dengan model RDA, namun belum bisa dikategorikan sebagai RDA. Hal yang menyebabkan belum bisa dikategorikan sebagai RDA biasanya ditinjau dari struktur dan pembiayaannya yang biasanya bukan dibiayai oleh pemerintah (misalnya pembiayaan dari pihak swasta) atau terkadang memilki struktur yang masih bisa dikategorikan di bawah kedinasan/pemerintah, sehingga tidak dapat dikatakan sebagai RDA.
Dari kriteria model RDA tersebut, kemudian dapat dijelaskan bahwa peran penting dari RDA yaitu untuk meningkatkan daya saing wilayah/daerah. Khususnya dengan meningkatkan pertumbuhan sumber daya lokal dan nilai-nilai pribumi di dalamnya dengan tujuan pembangunan berkelanjutan, untuk mengurangi kesenjangan antar daerah. Dengan adanya RDA, menjadi jembatan pembangunan antara pembangunan nasional dengan pembangunan di wilayah bawahnya, di mana dapat mengintegrasikan pembangunan antar wilayah untuk mencapai pemerataan pembangunan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan kebijakan pemerintah sektoral di tingkat regional dengan merangsang inisiatif dari daerah/wilayah.
Dalam lingkup kegiatan RDA terdapat spesialisasi atau konsentrasi di  bidang tertentu untuk mengatasi permasalahan yang spesifik, peluang dan kesempatan, misalnya RDA yang aktivitasnya dalam ranah pengembangan pariwisata, pengembangan infrastruktur, transportasi, pengembangaan pedesaan, pengelolaan wilayah, dan sebagainya. Masing-masing badan memilki aktivitas yang berbeda-beda konsentrasinya namun dengan tujuan yang sama untuk pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Model RDA cenderung lebih fleksibel dibandingkan badan atau lembaga organisasi pada umumnya. RDA bisa dilakukan dari skala kegiatan kecil sampai skala kegiatan yang lebih luas hingga lintas wilayah/provinsi. Pembentukan RDA biasanya terdapat di wilayah supra-urban.
RDA memiliki 3 pilar sebagai panduan (Jorg Meyer-Stamer, 2007), yaitu: (1) Business development/economic development. Pengembangan wilayah dapat didorong melalui perspektif pengembangan bisnis. Jadi, para praktisinya memiliki latar belakang keilmuan di bidang administrasi bisnis maupun ekonomi; (2) Urban/spatial development. Pengembangan wilayah dapat digerakkan dari perspektif pembangunan perkotaan dan tata ruang. Jadi, praktisinya yang memiliki latar belakang keilmuan bidang perencanaan tata ruang dan perkotaan, arsitektur, teknik dan yang terkait; dan (3) Social development. Pengembangan wilayah dapat didorong dari perspektif pembangunan sosial, dimana pekerjaanya dalam hal promosi atau bantuan sosial.
Ketiga pilar tersebut harus bisa bersinergi satu sama lain, karena masing-masing pilar tersebut sangat penting dan apabila salah satunya tidak bisa bersinergi dengan yang lainnya maka yang terjadi adalah pembangunan yang tidak seimbang. Dari tiap-tiap tipe RDA tersebut baik RDA yang berfokus kepada pengembangan bisnis, pembangunan perkotaan, maupun yang fokus kepada  pengembangan sosial, masing-masing memiliki faktor kritikal untuk keberhasilannya. Ketika struktur tata kelola wilayah dari suatu daerah lemahdan perekonomiannya masih tumbuh, maka kemungkinan untuk bisa bertahan masih ada. Tetapi jika tata kelola wilayah dan perkonomiannya lemah, maka sebenenarnya RDA sudah sangat diperlukan untuk membantu dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan wilayahnya. Pembentukan RDA juga masih mengalami beberapa kendala yang menjadi tantangan kedepannya, seringkali dihadapkan pada status legal, pada pihak publik dan private, dan dalam mendapatkan dukungan dari pemerintah. Ketika tidak ada dorongan dari pemerintah, pembentukan RDA relatif susah, jadi pembentukan RDA di daerah-daerah yang mereke cenderung memiliki kondisi dan tingkat ekonomi yang sama.
Negara-negara berkembang dan negara maju sudah banyak yang memilki RDA dan berhasil menjadi badan yang mampu membantu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dalam melakukan pengembangan wilayah. RDA di Jerman dan di Korea antara lain yang berhasil dalam RDAnya. RDA di Jerman aktivitasnya sudah lintas provinsi, sedangkan untuk di Korea terdapat 9 RDA di mana masing-masing RDA memiliki klaster-klaster. Selain itu, contoh lainnya yaitu RDA yang terdapat di West Transdanubian dan berlokasi di Sopron. The West Transdanubian RDA ini berdiri pada 1 Juli 1999. Badan ini memeiliki peran aktif dalam membangun dan mengoperasikan hubungan kerjasama di dalam dan luar daerah, dalam bidang pembangunan ekonomi dan membina inisiatif lokal.. Aktivitas dari RDA tersebut yaitu bergerak dalam 5 lingkup, yaitu (1) perantara dalam program operasional daerah yang melakukan pengembangan di 5 area yaitu pengembangan ekonomi wilayah, pengembangan pariwisata, pengembangan perkotaan, pengembangan infrastruktur transportasi dan lingkungan, serta pengembangan infrasturktur lokal dan pelayanan publik.; (2) perencanaan strategis; (3) proyek pembangunan; (4) pembangunan dan pengembangan ekonomi; (5) partisipasi dalam program internasional. dari gambaran kegiatan The West Transdanubian RDA tersebut, dapat dikatakan bahwa tugas RDA yang juga penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yaitu dengan menjalin kerjasama baik di tingkat regional, nasional maupuan internasional.
Pembentukan RDA di Indonesia memang masih belum banyak diaplikasikan, tapi sudah ada beebrapa yang  terbentuk.. Banyak badan/lembaga yang memiliki kegiatan serupa dengan model RDA tapi belum bisa dikategorikan sebagai model RDA. Badan yang bisa dikategorikan sebagai model RDA yang ada di Indonesia yaitu salah satunya Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS). BPPS memiliki fungsi mengkoordinasi promosi pariwisata yang dilakukan dunia usaha di daerah serta merupakan mitra kerja sama Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Jadi, Badan Promosi Pariwisata Sleman (BPPS) atau Sleman Tourism Board  ini merupakan lembaga swasta yang bersifat mandiri  untuk meningkatkan citra kepariwisataan di Sleman. Selain itu tugas dari BPPS antara lain meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara dan penerimaan devisa, meningkatkan kunjungan wisatawan nusantara dan pembelanjaan, menggalang pendanaan dari sumber selain  APBN dan APBD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan melakukan riset dalam rangka pengembangan usaha dan bisnis pariwisata. Pembentukannya mendapat dukungan dari Pemerintah Kabupaten Sleman, di mana tercantum dalam Peraturan Bupati Sleman No. 18 Tahun 2011 tentang Badan Promosi Pariwisata Sleman. Jadi, BPPS sudah dapat digolongkan sebagai model RDA karena berbasis regional, dibiayai oleh pemerintah, struktur administrasinya diluar mainstream pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan yang terpenting bertujuan mendorong pertumbuhan ekonomi wilayah.
Sumber referensi:
Hughes, J. (1998). The role of development agencies in regional policy: an academic and practitioner approach, Urban Studies, 35 (4), 615-626.
Meyer-Stamer, J. (2007). Designing a Regional Development Agency: Options and Choices. Mesopartner working paper 10.Duisburg: Mesopartner.
Peraturan Bupati Sleman No. 18 Tahun 2011 tentang Badan Promosi Pariwisata Sleman. http://www.jdih.slemankab.go.id/file/perbub%2018%202011.pdf, diakses 4 Juni 2013

West Transdanubian Regional Development Agency, http://www.westpa.hu/cgi-bin/westpa/news.cgi?view=ck&tID=95&nID=7283, diakses 29 Mei 2013

Jumat, 24 Mei 2013

SUMMARY “STRATEGI DAN MODEL PERENCANAAN POPULIS DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH”


Strategi populis dalam pengembangan wilayah merupakan strategi yang berbasis pedesaan. Strategi ini muncul sebagai respon atas kegagalan strategi pertumbuhan yang berbasis kepada industrialisasi. Strategi pusat pertumbuhan tersebut yang pada awalnya banyak mendapat respon positif dan banyak digunakan sebagai strategi pengembangan wilayah, ternyata cukup banyak menghasilkan dampak negatif.
Strategi populis muncul di awal tahun 1970an dan dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan para ahli dan terjadinya fenomena sosial politik pada tahun tersebut pasca kolonialisme di tahun 1950an dan 1960an. Selama periode ortodoksi pertumbuhan di mana strategi pusat pertumbuhan diterima secara luas oleh para ahli pembangunan, terdapat beberapa pendapat bahwa penting bagi seorang perencana untuk mengalokasikan sumber daya untuk pertanian. Pemberian prioritas kepada pembangunan pedesaan dikarenakan perencanaan pembangunan tidak semata-mata mengenai peningkatan laju pertumbuhan nasional dan melahirkan perubahan struktural dalam perekonomian.  Strategi pembangunan juga diperlukan untuk memperhitungkan kemiskinan dan lapangan pekerjaan. Strategi pusat pertumbuhan yang berbasis industrialisasi memang mampu menciptakan pertumbuhan, namun di sisi lain tidak membawa perubahan positif bagi sektor pertanian di pedesaan, muncul ketidakseimbangan antara wilayah pusat dengan wilayah pinggirannya. Wilayah pedesaan jadi mengalami kemunduran, karena dalam strategi pusat pertumbuhan kota mendominasi wilayah belakangnya berkaitan dengan konsentrasi modal yang besar untuk proses produksinya sehingga wilayah pedesaan mengalami kebocoran sumberdaya.
Pada akhirnya, terbentuklah strategi dan model perencanaan populis dalam pengembangan wilayah yang diprakarsai oleh Friedmann dan Douglass pada tahun 1978. Strategi ini memiliki prinsip melakukan pengembangan wilayah dengan menempatkan pedesaan sebagai fondasi strategi dan motor penggerak pengembangan, sehingga sektor utama yang dikembangkan yaitu pertanian dan aktivitas-aktivitas pendukungnya. Dalam prosesnya, melibatkan masyarakat dan juga berfungsi untuk menghilangkan bias terhadap kota-kota besar, industri skala besar dan bentuk-bentuk organisasi terpusat.
Dalam pengembangan wilayah berbasis pertanian ini, terdapat dasar yang dijadikan acuan dalam implementasi strategi. Integrasi teritorial merupakan dasar implementasi strategi tersebut. Sebuah wilayah terdiri dari wilayah perkotaan dan wilayah pedesaan, sehingga diperlukan integrasi dan pertimbangan keduanya sebagai komponen yang harus saling melengkapi. Peningkatan komponen ruang dan lokasional merupakan mekanisme dari integrasi territorial ini. Keterhubungan antar ruang, keterhubungan antar wilayah menjadi pertimbangan utama dalam mengembangkan wilayah di mana harus memperhatikan lokasi, potensi, dan perkembangan sektor ekonomi di wilayah sekitarnya.  
Dalam integrasi teritorial, perencanaan pengembangan wilayah sebagai pemercepat penyebaran pengembangan dari pusat pertumbuhan ke wilayah-wilayah di sekitarnya maupun wilayah di belakangnya. (Mier dan Bingham, 1993, dalam Setyono, 2007). Dalam model integrasi territorial ini, terdapat tiga hal yang perlu dilakukan dalam perencanaan pengembangan wilayah, antara lain: memperbaiki interaksi antara pusat pertumbuhan dengan wilayah belakangnya; membangun sistem pusat pertumbuhan yang dapat menarik investasi dan memproduksi komoditi ekspor; dan mengembangakan proses desentralisasi yang baru dan diarahkan ke wilayah tertinggal yang kurang berkembang. Peran masyarakat sangat diperlukan untuk diberdayakan, karena merupakan prasyarat dalam kapasitas peningkatan produktivitas dan efisiensi ekonomi. Pembangunan yang dilakukan nantinya disesuaikan dengan karakteristik dan potensi masing-masing wilayah.
Strategi pendekatan pengembangan wilayah yang berbasis pedesaan ini memiliki beberapa model implementasinya, di mana pedesaan sebagai fungsi dominannya dan kebutuhan masyarakat sebagi komponen utamanya. Model pengembangan wilayah dengan strategi populis dibagi menjadi tiga strategi, yaitu pembatasan ruang selektif, pengembangan pedesaan terpadu, dan pengembangan agropolitan.
Pertama, strategi pembatasan ruang selektif (selective spatial closure) adalah merupakan upaya strategi pengembangan wilayah yang mengatasi permasalahan kebocoran sumberdaya wilayah pedesaan. Melalui strategi ini, kebocoran sumberdaya yang menyebabkan tidak berkembangnya wilayah pedesaan dapat dikendalikan. Strategi pembatasan ruang selektif didasari oleh 5 konsep menurut Stohr (1981), yaitu:
1.      Merintangi perpindahan ke luar potensi sumber daya wilayah.
2.      Kewenangan pengambilan keputusan dipertahankan di tingkat lokal.
3.      Menutup hubungan dengan wilayah lain yang berpotensi mengeksploitasi potensi lokal.
4.      Pemenuhan kebutuhan dasar secara mandiri.
5.   Meningkatkan mobilisasi dan integrasi sumber daya untuk kepentingan pembangunan lokal.
Selain itu, terdapat beberapa kebijakan pembangunan dalam strategi ini (Setyono,2007), antara lain dengan melakukan pengembangan teknologi yang tepat guna, meningkatkan akses pembangunan secara merata dengan peningkatan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas, memprioritaskan kebutuhan dasar dan pelayanan dasar, pemberdayaan komunitas lokal dan penguatan struktur pemerintah lokal, penerimaan bantuan dari wilayah lain dengan tetap memberikan batas agar tidak terjadi ketergantungan, dan kebijakan kesamarataan menjadi kunci keberhasilan. Jadi, strategi ini dapat dikatakan memberikan prioritas kepada integrasi territorial dan bisa memunculkan trickledown effect.
Kedua, strategi pengembangan pedesaan terpadu dan terintegrasi. Strategi ini merupakan salah satu cara untuk percepatan pengembangan pedesaan (accelerated rural development). Model pengembangan wilayah ini menurut Friedmann (1981) dilatarbelakangi karena terdapat beberapa kondisi yang tidak mendukung kemajuan pedesaan secara merata dan menyeluruh, sehingga tercipta kesenjangan antara wilayah perkotaan dan pedesaan. Beberapa konsep yang dapat diterapkan untuk percepatan pengembangan pedesaan, yaitu:
1.      Pembangunan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan dasar penduduk.
2.      Pembangunan yang dilakukan dapat menyesuaikan dengan kondisi fisik lingkungan.
3.      Pembangunan dapat memberikan manfaat-manfaat kepada masyarakat secara luas.
Agar tercapainya konsep tersebut, menurut Setyono (2007) ada beberapa mekanisme kebijakan pembangunan yang dapat dilakukan, antara lain mendorong pelaksanaan proyek yang berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, melakukan diversifikasi pertanian untuk perluasan lapangan pekerjaan yang produktif, menciptakan usaha-usaha yang mandiri dalam mengelola sumber daya pedesaan melalui akumulasi kekuatan sosial yang ada, meningkatkan kualitas lingkungan, mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan antara desa-kota dan menerapkan sistem desentralisasi dalam pembangunan wilayah pedesaan.
Ketiga, model terakhir yang dapat dikembangkan dan saat ini sudah banyak digunakan di negara-negara berkembang termasuk di Indonesia, yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan agropolitan dilakukan untuk  menumbuhkembangkan pertumbuhan ekonomi berbasis pertanian, sehingga dapat meminimalisir kesenjangan desa-kota. Model strategi ini membangun pusat pelayanan bagi pengembangan pertanian dan wilayah pedesaan dapat mengembangkan wilayahnya sesuai dengan karakteristik sosial ekonomi penduduknya.
Model pengembangan agropolitan tersebut pada dasarnya merupakan pembangunan berkelanjutan yang diberikan fasilitas infrastruktur setara perkotaan sehingga dapat melayani dan memacu perkembangan wilayah pedesaan. Beberapa fungsi kegiatan ekonomi dan pelayanan perkotaan yang melekat pada kawasan perkotaan diterapkan dan dikembangkang di kawasan pedesaan untuk pengembangan kegiatan pertaniannya. Untuk mencapai itu kemudian dibentuklah distrik-distrik agropolitan yang memiliki hirarki keruangan (terintegrasi satu sama lain) dan didalamnya meliputi fasilitas sosial, infrastruktur, perbaikan pertanian dan industri ringan padat karya. Pembentukan distrik agropolitan yang nantinya menjadi pusat pelayanan perkotaan bagi pengembangan pertanian merupakan strategi pengembangan dari aspek keruangan. Aspek sektoral dalam pengembangan agropolitan yakni dengan menyeimbangkan dan melakukan sinkronisasi aktivitas pertanian dan non pertanian serta memperluas jaringan interaksi sosial masyarakat di pedesaan.
Strategi pengembangan agropolitan memiliki dua versi, yang pertama versi asli yakni strategi ini secara spesifik didesain untuk wilayah yang memililki tingkat urbanisasi yang rendah, pola tinggi dan rendah kepadatan penduduk, pola permukiman dari kluster desa-kota, dan kondisi kemiskinan yang ekstrim, sehingga dikatakan secara khusus cocok di terapkan di Asia. Versi kedua yakni menurut Friedmann dan Weaver (1979), strategi ini cocok untuk Asia dan bagian Afrika. Strategi ini berubah dari korelasi spasial percepatan pengembangan pedesaan menjadi strategi kebutusan dasar dalam pengembangan wilayah.
Kemungkinan aplikasi strategi dan model perencanaan populis di Indonesia. Model pengembangan yang telah banyak dikembangkan di Indonesia yaitu pengembangan agropolitan. Pengembangan kawasan agropolitan telah tercantum dalam undang-undang tentang penataan ruang. Direktorat Penataan Ruang dan Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah telah menggunakan konsep pengembangan angropolitan untuk melakukan pengembangan wilayah.. Menurut Djakapermana (2003), konsep agropolitan yang dikembangkan adalah pembentukan sistem fungsional desa-desa dengan hirarki keruangan desa yaitu dengan adanya pusat agropolitan dan desa-desa di sekitarnya. Kawasan pertanian tumbuh dan berkembang karena adanya sistem agribisnis di pusat agropolitan yang kemudian diharapkan dapat melayani dan mendorong kegiatan pembangunan pertanian di wilayah sekitarnya. Jadi, pengembangan kawasan pedesaan diintegrasikan dengan konsep penataan ruang secara keseluruhan.
Beberapa contoh wilayah di Indonesia yang dikembangkan dengan konsep pengembangan agropolitan antara lain, kawasan agropolitan Pacet, Cianjur; kawasan agropolitan di Gorontalo dengan spesialisasi jagung; kawasan agropolitan di Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta dan Kabupaten Bangli, Bali dengan basis perkebunan; dan sebagainya.

Sumber referensi:
---. Neo-populist Regional Development Strategies, http://kulon.undip.ac.id/mod/resource/view.php?id=2443, diakses 12 Mei 2013
Djakapermana, RD. 2003. Pengembangan Kawasan Agropolitan Dalam Rangka Pengembangan Wilayah Berbasis RTRWN. Jakarta. http://penataanruang.pu.go.id/taru/Makalah/Pengembangan%20Agropolitan%20Berbasis%20RTRWN.doc, diakses 20 Mei 2012
Setyono, Jawoto Sih. 2007. Pengantar Perencanaan Wilayah dan Kota. Semarang: Universitas Diponegoro